Hand Out
HUKUM TATA NEGARA (HTN)
Jundiani
|
Materi 3
HAKEKAT
DAN PRINSIP-PRINSIP POKOK NEGARA
1. Hakekat dan sifat negara
Seorang
filsuf dan ahli negara, Socrates, berpendapat bahwa negara bukanlah organisasi
yang dapat dibuat oleh manusia untuk kepentingan dirinya sendiri, tetapi
merupakan jalan susunan obyektif berdasarkan pada hakekat manusia sehingga
bertugas menjalankan peraturan-peraturan yang obyektif mengandung keadilan dan
kebaikan umum atau bersama (public good), tidak hanya melayani kebutuhan
penguasa yang berganti-ganti orangnya. Kenikmatan jiwa hanya dapat dicapai
dengan keadilan obyektif sejati, sementara kesenangan palsu akan disuburkan
oleh kezaliman. Menurut Socrates, keadilan (justice) merupakan tujuan
politik yang layak. Karena itu, negara sebagai bagian dari lembaga politik
memiliki tujuan akhir yang sama, yakni keadilan guna mencapai kebaikan.
Pendapat
Socrates ini dikembangkan oleh Plato dalam Politeia, yang berpendapat
bahwa negara merupakan lembaga atau organisasi yang mementingkan kebajikan umum
(virtue) atau kebaikan bersama. Kebajikan menurutnya adalah pengetahuan.
Apapun yang dilakukan atas nama negara haruslah dimaksudkan untuk mencapai
kebajikan. Lebih jauh Plato berpendapat bahwa jika kesejahteraan ingin
terwujud, negara harus dipimpin oleh seorang yang berpengetahuan atau filsuf.
Dalam Politicos, Plato menceritakan kewajiban warga negara ntuk taat
hukum, karena dengan taat kepada hukumlah masyarakat bisa tertib. Dan dalam Nomoi,
ia bercerita tentang penekanan pada ketaatan seluruh warga dan pemerintah
terhadap hukum. Semua orang adalah sama di hadapan hukum. Pemerintahan yang
baik menurut Nomoi adalah pemerintahan yang diatur oleh hukum.
Aristoteles,
seorang murid Plato, menyatakan bahwa negara adalah gabungan keluarga sehingga
menjadi kelompok yang besar. Kebahagiaan dalam negara akan tercapai bila
terciptanya kebahagiaan individu. Sebaliknya, bila manusia ingin berbahagia
maka ia harus bernegara, karena manusia saling membutuhkan dalam hidupnya.
Manusia tidak dapat lepas dari kesatuannya, kesatuan manusia itu adalah negara.
Negara menyelenggarakan kemakmuran warganya, oleh karena itu negara sebagai
alat agar kelompok manusia bertingkah laku mengikuti tata tertib yang baik
dalam masyarakat. Dengan demikian senagara sekaligus merupakan organisasi
kekuasaan.
Ibn
Abi Rabi’ dalam Kitab Suluk Al-Malik fi Tadbir Al-Mamalik (perilaku Raja
dalam pengelolaan Kerajaan-kerajaan), seperti diterangkan oleh Suyuti Pulungan,
memulai pembahasan mengenai negara atau kota
berdasarkan kenyataan sosial bahwa manusia adalah jenis makhluk yang
saling memerlukan satu sama lainnya untuk mencukupi segala kebutuhannya.
Keinginan mencukupi kebutuhan agar bertahan hidup, dan untuk memperolehnya
diperlukan kerjasama, mendorong mereka berkumpul di suatu tempat, agar mereka
dapat saling menolong dan memberi. Proses itulah yang menyebabkan terbentuknya
kota-kota, dan akhirnya menjadi negara.
Senada
dengan pandangan Ibn Abu Rabi’, konsep Mawardi tentang negara dimulai dengan
penjelasannya mengenai hakikat manusia sebagai makhluk sosial. Manusia menurut
Mawardi adalah makhluk lemah dan paling banyak kebutuhannya. Untuk itu, manusia
memerlukan kerjasama. Allah menciptakan
manusia dengan keadaan lemah dan paling banyak kebutuhan, menurut Mawardi,
bertujuan membuat mereka sadar bahwa Dia adalah pencipta dan pemberi rezeki.
Dan yang terpenting dari semua itu adalah agar manusia tidak sombong dan
takabur.
2. Teori Asal Mula dan Berakhirnya
Negara
Untuk
menjawab asal mula dan berakhirnya negara maka ada dua mainstream
pendekatan penjelasan. Pertama, pendekatan faktual. Pendekatan ini
didasarkan pada kenyataan yang benar-benar terjadi, yang dapat ditelusuri dari
pengalaman dan sejarah. Kedua, pendekatan teoritis. Pendekatan ini
didasarkan pada penggunaan metode falsafah, yaitu membuat dugaan-dugaan
berdasarkan kerangka pemikiran yang logis.
a. Pendekatan Faktual
Bahwa
kenyataan sejarah menunjukkan bahwa suatu negara dapat dibentuk antara lain
disebabkan antara lain oleh:
(1) Suatu wilayah
atau daerah belum ada yang menguasai, kemudian diduduki oleh suatu bangsa, maka
daerah itu berubah menjadi suatu negara. Misalnya, Wilayah Liberia yang
diduduki oleh budak-budak Negro yang dimerdekakan pada tahun 1847.
(2) Suatu wilayah
atau daerah yang semula termasuk wilayah negara tertentu, kemudian melepaskan
diri dari negara itu dan menyatakan kemerdekaannya. Misalnya Timor Timur pada
tahun 1999 melepaskan diri dari Indonesia melalui referendum dan kini menjadi
negara berdaulat; Singapura pada tahun 1963 melakukan pemisahan dari Federasi
Malaya, Belgia pada tahun 1839 melepaskan diri dari Belanda dan menjadi negara.
Pendekatan ini tampaknya lebih menyerupai teori pengalihan hak atau teori
daluarsa, prescriptive theory atau prescriptive possession theory,
yakni hak yang diperoleh setelah pihak lain melepas hak atau berlakunya hak
itu. Teori ini dipopulerkan oleh Sir Robert Filmer dan Loyseau.
(3) Beberapa
negara mengadakan peleburan (fusi) dan menjadi suatu negara baru.
Misalnya, pembentukan Kerajaan Jerman tahun 1871.
(4) Suatu negara pecah dan lenyap, kemudian di
atas bekas wilayah negara itu timbul negara-negara baru. Misalnya, tahun 1832
negara Colombia pecah menjadi negara-negara baru, yaitu Venezuela dan Colombia
Baru; 15 negara pecahan Uni Soviet 1992; Yugoslavia pecah menjadi negara-negara
baru, yaitu Bosnia, Serbia, dan Kroasia.
b. Pendekatan Teoritis
Termasuk
dalam pendekatan ini adalah teori Ketuhanan, teori hukum alam, teori kekuasaan,
teori perjanjian masyarakat, teori organis, dan teori garis kekeluargaan.
(1) Teori Ketuhanan
Teori ini didasarkan pada kepercayaan
bahwa segala kejadian di jagat raya ini terjadi karena kehendak Tuhan.
(2)
Teori Hukum Alam
Teori ini berpangkal pada pandangan bahwa hukum alam bukan
merupakan hukum buatan negara, melainkan hukum yang berlaku menurut keadaan
alam. Hukum yang demikian ini berlaku abadi atau universal, yaitu tidak
berubah, berlaku dalam setiap waktu dan tempat.
(3) Teori Kekuasaan
“Raja yang pertama adalah prajurit
yang berhasil”, begitu kalimat yang dibuat oleh Voltaire untuk menggambarkan
bahwa negara itu terbentuk tidak lain karena kekuatan atau kekuasaan. Teori ini
berpandangan bahwa negara terbentuk berdasarkan atas kekuasaan. Dari sini bisa
diketahui bahwa orang kuatlah yang pertama-tama mendirikan negara, karena dengan
kekuatannya itu, ia mampu untuk memaksakan kehendaknya kepada orang lain.
(4) Teori Perjanjian Masyarakat
Teori ini bertitik tolak pada
anggapan bahwa sebelum adanya negara, manusia hidup secara sendiri-sendiri, dan
berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Saat itu, belum ada
masyarakat dan belum ada peraturan, sehingga kehidupan masyarakat sangat kacau.
Dengan kata lain, adanya negara adalah hasil kesepakatan dari masyarakat yang
melahirkan sejumlah hak dan kewajiban antara individu atau kelompok individu
(masyarakat) dengan negara di satu sisi, dan antara individu dengan individu
atau kelompok individu di sisi lain.
(5)
Teori Organis
Teori ini menyatakan bahwa negara
adalah suatu organisme. Adanya negara bermula dari pola kerjasama antarorganisasi
sederhana, kemudian meningkat secara bertahap ke dalam bentuk yang lengkap dan
jelas.
(6)
Teori Garis Kekeluargaan (Patriarkhal, Matriarkhal)
Teori ini menerangkan bahwa negara
dapat terbentuk dari perkembangan suatu keluarga yang menjadi besar, kemudian
bersatu membentuk negara. Orang-orang yang mempunyai hubungan darah
(kekeluargaan) berkembang menjadi suatu suku (tribe), lalu berkembang
lagi sehingga membentuk suatu negara.
3. Tipe-tipe Negara Menurut Sejarah
Tipe-tipe
negara menurut sejarah, de historische hoofd typen van de staats,
meninjau penggolongan negara berdasarkan sejarah pertumbuhannya.
a. Tipe Negara
Timur Purba, mempunyai tipe tirani dan raja-raja berkuasa mutlak dengan ciri-ciri bersifat teokratis dan pemerintahan
bersifat absolut.
b. Tipe Negara
Yunani kuno, mempunyai tipe sebagai negara kota atau Polis (city
state). Besarnya negara kota hanyalah satu kota saja yang dilingkari
benteng pertahanan, penduduknya sedikit dan pemerintahan demokrasi langsung.
Pemerintahan berjalan dengan mengumpulkan rakyat di satu tempat yang disebut acclesia.
Dalam rapat dikemukakan kebijaksanaan pemerintah untuk dipecahkan bersama,
rakyat ikut serta memecahkan masalah. Pemerintahan selalu dipegang oleh
ahli-ahli filsafat.
c. Tipe Negara Romawi
Tipe negaranya adalah imperium.
Pemerintahannya dipegang oleh Caesar yang menerima seluruh kekuasaan dari
rakyat atau apa yang dinamakan Caesarismus. Pemerintahan Caesar adalah secara
mutlak.
d. Tipe Negara Abad Pertengahan
Ciri khas tipe negara Abad Pertengahan
adalah adanya dualisme (pertentangan):
(1) Dualisme antara penguasa dengan
rakyat;
(2) Dualisme antara pemilik dan
penyewa tanah sehingga munculnya feodalisme;
(3) Dualisme antara Negarawan dengan
Gerejawan (sekularisme).
Akibat adanya dualisme ini timbul
keinginan rakyat untuk saling membatasi hak dan kewajiban antara raja dan
rakyat. Ini dikemukakan oleh aliran monarchomachen (golongan anti raja
yang mutlak)
e. Tipe Negara
Modern
Pada negara-negara modern tipenya
adalah:
(1) Berlaku asas demokrasi;
(2) Dianutnya faham negara hukum;
(3) Susunan
negaranya Kesatuan. Didalam negara hanya ada satu pemerintahan, yaitu
Pemerintahah Pusat yang mempunyai wewenang tertinggi.
4. Unsur-unsur Negara
Yang
dimaksud dengan unsur-unsur negara adalah hal-hal yang menjadikan negara itu
ada, atau hal-hal yang diperlukan untuk terbentuknya negara. Unsur-unsur
pembentuk tersebut ada yang bersifat mutlak atau konstitutif dan
bersifat tambahan atau deklaratif. Unsur pertama merupakan syarat mutlak, sehingga apabila
unsur satu saja tidak ada, negara pun tidak ada. Adapun unsur-unsur negara yang
termasuk kategori ini adalah rumusan Konvensi Montevidio 1933, terdiri atas
tiga unsur penting, yakni: rakyat,
wilayah, dan pemerintah yang berdaulat. Sementara unsur tambahan atau deklaratif
adalah “pengakuan negara-negara lain/dunia internasional”. Berikut akan
diuraikan mengenai unsur-unsur pembentuk negara tersebut.
a. Rakyat
Secara
khusus rakyat diartikan “semua orang yang berdiam didalam suatu negara atau
menjadi penghuni negara”. Rakyat merupakan unsur terpenting dalam suatu negara,
karena manusialah yang pertama-tama berkepentingan agar organisasi negara dapat
berjalan dengan baik. Dalam praktik kenegaraan, biasanya rakyat dibedakan
antara, pertama, penduduk dan bukan penduduk; kedua, warga negara
dan bukan warga negara.
Penduduk
adalah mereka yang bertempat tinggal
atau berdomisili didalam wilayah negara. Adapun bukan penduduk adalah
mereka yang berada di dalam wilayah negara, tetapi tidak bermaksud bertempat
tinggal di negara itu. Perbedaan antara penduduk dengan bukan penduduk
menimbulkan konsekuensi berupa perbedaan hak dan kewajiban tertentu.
Warga
negara adalah mereka yang berdasarkan hukum merupakan anggota dari suatu
negara. Mereka yang tidak termasuk warga negara adalah orang asing (bukan warga
negara). Sebagian besar warga negara merupakan penduduk negara itu, dan ada
sebagian kecil yang tidak menjadi penduduk karena bertempat tinggal di luar
negeri.
Ada
tiga unsur dasar atau asas yang menentukan warga negara atau kewarganegaraan
seseorang:
(1) Asas ius
sanguinis, adalah berdasarkan pertalian darah atau keturunan. Asas ini
menentukan bahwa kewarganegaraan seseorang didasarkan atas kewarganegaraan
orang tuanya, sekalipun anak itu sendiri dilahirkan di luar negaranya. Negara
yang menganut asas ini adalah Cina dan Indonesia.
(2) Asas ius
soli, adalah berdasarkan kedaerahan atau territorial. Asas ini menentukan
kewarganeraaan seseorang didasarkan pada tempat ia dilahirkan, meskipun orang
tuanya berasal dari negara lain. Negara yang menganut asas ini adalah Amerika
Serikat.
(3) Asas naturalisasi atau
pewarganegaraan. Asas yang penentuannya
dapat dilakukan manakala seseorang yang berkewarganegaraan asing mengajukan
permohonan untuk menjadi warga negara dari suatu negara tertentu.
Kedua asas yang disebutkan
pertama, pada praktiknya cenderung memungkinkan seseorang memiliki
kewarganeraan rangkap (bipatride) atau sebaliknya, tidak memiliki
kewarganegaraan (apatride). Kewarganegaraan rangkap ini disebabkan
dianutnya asas yang berbeda diantara dua negara dalam menentukan
kewarganegaraannya. Negara yang satu menggunakan asas ius sanguinis dan
yang lain menggunkan ius soli. Misalnya, seorang warga Cina melahirkan
anaknya di Amerika Serikat. Anak yang baru lahir tersebut kemungkinan akan
menjadi bipatride, karena Cina menggunakan asas ius sanguinis dan
Amerika Serikat menganut asas ius soli, sehingga akan sama-sama mengakui anak
tersebut sebagai warga negaranya.
Dalam perkembangan selanjutnya,
sebutan penghuni negara selain digunakan istilah rakyat, juga digunakan istilah
“bangsa”. Untuk membedakan kedua istilah itu, para sarjana menyatakan bahwa
rakyat adalah suatu pengertian sosiologis, sedangkan bangsa adalah suatu
pengertian yang lebih bersifat politis. Dalam konteks pembedaan itu, rakyat
diartikan sebagai sekelompok manusia yang memiliki suatu kebudayaan adat
istiadat, sedangkan bangsa diartikan sebagai sekelompok manusia yang
dipersatukan oleh persamaan sejarah dan cita-cita.
b. Wilayah
Oppenheim
dalam buku International Law, seperti dikutip Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R.
Agoes, menerangkan bahwa tanpa adanya wilayah dengan batas-batas tertentu,
suatu negara tidak akan dianggap segala kedaulatannya dan eksistensinya.
Pengertian negara di sini tidak dapat dipisahkan dari konsep dasar negara
sebagai suatu kesatuan geografis disertai dengan kedaulatan dan yurisdiksinya
masing-masing. Karena itu, wilayah bagi suatu negara merupakan unsur yang
mendasar. Peranan penting wilayah bagi negara adalah: pertama, sebagai
tempat menetap rakyat dan tempat pemerintah menyelenggarakan pemerintahannya. Kedua,
sebagai simbol kedaulatan dan integritas kewilayahan (territorial integrity).
Wilayah negara meliputi:
daratan, lautan, udara, dan daerah ekstrateritorial.
Berkaitan
dengan batas wilayah ini ditentukan sebagai berikut: pertama, batas wilayah daratan biasanya ditentukan dalam
perjanjian dengan negara-negara tetangga. Kedua, lautan adalah seluruh
wilayah lautan di suatu negara dengan batas-batas tertentu dan disebut laut
territorial. Laut di luar itu disebut laut terbuka. Perkembangan
selanjutnya, khususnya setelah lahirnya Konvensi Laut 1982 melalui traktat
multilateral di Montego Bay (Jamaica) pada tanggal 10 Desember 1982, wilayah
lautan dibagi menjadi beberapa kategori, yakni:
1. Laut
teritorial. Setiap negara mempunyai kedaulatan atas lautan terotorial yang
jaraknya sampai 12 mil laut, diukur dari garis lurus yang ditarik dari pantai;
2. Wilayah
laut zona bersebelahan, yaitu lautan di luar batas laut territorial 12 mil
laut atau 24 mil laut dari pantai;
3. Wilayah
laut Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE), adalah wilayah laut dari suatu negara
pantai yang batasnya 200 mil laut diukur dari pantai. Dalam wilayah laut ini,
negara pantai yang bersangkutan berhak menggali kekayaan alam lautan serta
melakukan kegiatan ekonomi tertentu. Negara lain berhak berlayar atau terbang
di atas wilayah itu serta bebas pula memasang kabel dan pipa di bawah lautan
itu. Negara pantai yang bersangkutan berhak menangkap nelayan asing yang
kedapatan menangkap ikan dalam ZEE-na.
4. Wilayah
laut batas landas benua, adalah wilayah lautan suatu negara yang batasnya
lebih dari 200 mil laut. Dalam wilayah ini, negara pantai boleh melakukan
eksplorasi dan eksploitasi, dengan kewajiban harus membagi keuntungan dengan
masyarakat internasional.
Ketiga,
wilayah udara suatu negara berada di atas wilayah daratan dan lautan negara
itu. Kekuasaan atas wilayah udara suatu negara diatur dalam perjanjian Paris
tahun 1919. Keempat, daerah ekstrateritorial ini berdasarkan hukum
internasional, misalnya mencakup kapal-kapal laut yang berlayar di laut terbuka
di bawah bendera suatu negara tertentu, seperti kantor keduataan besar. Daerah
ekstrateritorial artinya, walaupun tempat itu terletak di wilayah negara lain,
dianggap menjadi wilayah negara yang diwakili. Misalnya, kantor perwakilan
negara Amerika Serikat di Jakarta, tempat kedudukan kantor perwakilan itu
menjadi ekstrateritorial negara Amerika Serikat.
Dalam Hukum internasional, setiap negara memiliki kemungkinan untuk
menambah atau mempertahankan wilayahnya. Apabila dilihat dari pengalaman dan
sejarah praktik negara, terdapat beberapa cara bagi suatu negara untuk memperluas
wilayahnya, diantaranya: pertama, akresi. Cara ini adalah
penambahan wilayah yang disebabkan oleh proses alamiah. Misalnya, terbentuknya
pulau yang disebabkan endapan lumpur di muara sungai, mengeringnya bagian
sungai disebabkan terjadinya perubahan aliran sungai, dan letusan gunung api di
laut yang membentuk daratan. Kedua, cessi, yakni cara meyerahkan
wilayah secara damai yang biasanya dilakukan melalui suatu perjanjian
perdamaian yang mengakhiri perang.
Ketiga,
okupasi atau cara menunjukkan adanya penguasaan terhadap suatu wilayah
yang tidak berada di bawah wilayah kedaulatan negara manapun, dapat berupa terra
nullius yang baru ditemukan. Penguasaan tersebut harus secara
efektif dan terbukti adanya kehendak untuk menjadikan wilayah tersebut sebagai
bagian dari kedulatan suatu negara. Hal itu harus ditunjukkan, misalnya, dengan
suatu tindakan simbolis yang menunjukkan adanya penguasaan terhadap wilayah
tersebut, seperti pemancangan bendera atau melalui suatu proklamasi.
Keempat, preskripsi. Berbeda dengan okupasi, preskripsi, adalah
pelaksana kedaulatan oleh suatu negara secara de facto dan damai dalam
kurun waktu tertentu, bukan terhadap terra nullius, melainkan terhadap
wilayah yang sebenarnya berada di wilayah kedaulatan negara lain. Kelima,
aneksasi, yakni cara memperoleh tambahan wilayah secara paksa
berdasarkan dua kondisi:
1. Wilayah yang dianeksasi telah
dikuasai oleh negara yang menganeksasi.
2. Pada waktu
suatu negara mengumumkan kehendaknya untuk menganeksasi suatu wilayah, wilayah
tersebut telah benar-benar berada di bawah wilayah penguasaan negara tadi.
Keenam, adalah perolehan
wilayah oleh negara baru. Perolehan wilayah semacam ini bagi negara-negara yang
baru merdeka merupakan suatu hal yang dianggap sebagai sui generis.
c. Pemerintah yang berdaulat
Yang
dimaksud pemerintah adalah seorang atau beberapa orang yang memerintah menurut
hukum negaranya. Pemerintah sebagai unsur negara adalah pemerintah dalam arti
luas, yaitu gabungan seluruh alat perlengkapan negara. Kedaulatan adalah
kekuasaan yang tertinggi untuk membuat undang-undang dan melaksanakannya dengan
semua cara (termasuk paksaan) yang tersedia. Dalam perkembangannya, terdapat
bermacam-macam teori kedaulatan, antara lain:
1. Teori kedaulatan tuhan
atau disebut juga teori teokrasi, adalah kekuasaan tertinggi dalam negara
berasal dari Tuhan. Tuhan memberikan kekuasaan kepada penguasa karena ia
dianggap sebagai keturunan dan wakil-Nya di bumi;
2. Teori kedaulatan
negara, akni suatu faham yang bertitik tolak bahwa negaralah sumber kedaulatan
dalam negara. Oleh karena itu, negara dianggap mempunyai hak yang tidak
terbatas terhadap life, liberty, dan property dari
warganya;
3. Teori kedaulatan
hukum, ialah teori yang menyatakan bahwa hukum berada di atas segala-galanya,
bukan hanya manusia, tetapi juga negara berada di bawah pemerintah hukum;
4. Teori kedaulatan rakyat. Teori
ini menyatakan bahwa rakyatlah yang berdaulat dan mewakili kekuasaanya pada
suatu badan, yaitu pemerintah. Jadi bilamana pemerintah ini melaksanakan
tugasnya tidak sesuai dengan kehendak rakyat, maka rakyat akan bertindak
mengganti pemerintah itu. Kedaulatan rakyat ini didasarkan pada kehendak umum
yang disebut volonte generale.
d. Pengakuan dari Negara-Negara
lain
Pengakuan
dari negara-negara lain bukan unsur mutlak, dalam arti bukan merupakan
pembentuk negara, melainkan hanya bersifat menerangkan adanya suatu negara.
Pengakuan dari negara lain terdiri atas dua macam, yaitu pengakuan de facto
dan pengakuan de jure. Pengakuan de facto adalah pengakuan
berdasarkan kenyataan (fakta) bahwa di suatu wilayah itu diakui telah berdiri
suatu negara. Sementara pengakuan de jure adalah pengakuan berdasarkan hukum.
Di
kalangan para sarjana hukum internasional, terdapat dua golongan besar yang
saling bertentangan mengenai unsur tambahan ini. Golongan pertama berpendapat
bahwa apabila semua unsur negara telah dimiliki oleh suatu masyarakat politik,
dengan sendirinya ia merupakan sebuah negara da harus diperlakukan secara
semestinya oleh negara-negara lainnya. Dengan kata lain, Hukum Internasionalk
secara ipso facto harus menganggap masyarakat politik yang bersangkutan
sebagai suatu negara lengkap dengan hak dan kewajiban-kewajiban yang dengan
sendirinya melekat padanya. Pengakuan hanya bersifat “pencatatan” pada pihak
negara lain, bahwa negara baru itu telah mengambil tempat di samping
negara-negara lain yang telah ada.
Sementara
itu, golongan kedua berpendapat bahwa walupun unsur-unsur kenegaraan telah
dimiliki oleh suatu masyarakat politik, tidaklah secara otomatis dapat diterima
sebagai enagar di tengah-tengah masyarakat internasional, kecuali masyarakat
politik tersebut benar-benar telah memenuhi semua syarat sebagai negara,
termasuk syarat pengakuan dari negara-negara lain. Golongan ini dapat dikatakan
sebagai penganut constitutive theory (teori konstitutif).
Pokok
pangkal pertentangan ini dikarenakan sistem hukum internasional yang todak
mengenal central authority (kekuasaan pusat) yang menentukan secara
normatif, ukuran-ukuran yang dijadikan patokan dalam menerapkan lembaga
pengakuan ini.
5. Bahan Pengayaan
a. Azhary,
Muhammad Tahir, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat
dari segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa
Kini, Prenada Media, Jakarta, 2004
b. Basah,
Sjahran, Ilmu Negara.
c. Boediharjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu
Politik.
d. Fadjar, A. Moekthie, Negara
Hukum.
e. Ismatullah,
Deddy & Asep A. Sahid Gatara, Ilmu Negara dalam Multi Perspektif:
Kekuasaan, Masyarakat, Hukum dan Agama, Pustaka Setia, Bandung, 2007.
f. Soehino, Ilmu Negara.
g. Wahjono, P., Ilmu
Negara.
Posting Komentar