welcome to my blog ^_^

Hakikat dan Prinsip - Prinsip pokok Negara

Posted Sabtu, 16 April 2011 by NeyLa

Hand Out
HUKUM TATA NEGARA (HTN)
Jundiani

Materi 3
HAKEKAT DAN PRINSIP-PRINSIP POKOK NEGARA

1. Hakekat dan sifat negara
                Seorang filsuf dan ahli negara, Socrates, berpendapat bahwa negara bukanlah organisasi yang dapat dibuat oleh manusia untuk kepentingan dirinya sendiri, tetapi merupakan jalan susunan obyektif berdasarkan pada hakekat manusia sehingga bertugas menjalankan peraturan-peraturan yang obyektif mengandung keadilan dan kebaikan umum atau bersama (public good), tidak hanya melayani kebutuhan penguasa yang berganti-ganti orangnya. Kenikmatan jiwa hanya dapat dicapai dengan keadilan obyektif sejati, sementara kesenangan palsu akan disuburkan oleh kezaliman. Menurut Socrates, keadilan (justice) merupakan tujuan politik yang layak. Karena itu, negara sebagai bagian dari lembaga politik memiliki tujuan akhir yang sama, yakni keadilan guna mencapai kebaikan.
                Pendapat Socrates ini dikembangkan oleh Plato dalam Politeia, yang berpendapat bahwa negara merupakan lembaga atau organisasi yang mementingkan kebajikan umum (virtue) atau kebaikan bersama. Kebajikan menurutnya adalah pengetahuan. Apapun yang dilakukan atas nama negara haruslah dimaksudkan untuk mencapai kebajikan. Lebih jauh Plato berpendapat bahwa jika kesejahteraan ingin terwujud, negara harus dipimpin oleh seorang yang berpengetahuan atau filsuf. Dalam Politicos, Plato menceritakan kewajiban warga negara ntuk taat hukum, karena dengan taat kepada hukumlah masyarakat bisa tertib. Dan dalam Nomoi, ia bercerita tentang penekanan pada ketaatan seluruh warga dan pemerintah terhadap hukum. Semua orang adalah sama di hadapan hukum. Pemerintahan yang baik menurut Nomoi adalah pemerintahan yang diatur oleh hukum.
                Aristoteles, seorang murid Plato, menyatakan bahwa negara adalah gabungan keluarga sehingga menjadi kelompok yang besar. Kebahagiaan dalam negara akan tercapai bila terciptanya kebahagiaan individu. Sebaliknya, bila manusia ingin berbahagia maka ia harus bernegara, karena manusia saling membutuhkan dalam hidupnya. Manusia tidak dapat lepas dari kesatuannya, kesatuan manusia itu adalah negara. Negara menyelenggarakan kemakmuran warganya, oleh karena itu negara sebagai alat agar kelompok manusia bertingkah laku mengikuti tata tertib yang baik dalam masyarakat. Dengan demikian senagara sekaligus merupakan organisasi kekuasaan.
                Ibn Abi Rabi’ dalam Kitab Suluk Al-Malik fi Tadbir Al-Mamalik (perilaku Raja dalam pengelolaan Kerajaan-kerajaan), seperti diterangkan oleh Suyuti Pulungan, memulai pembahasan mengenai negara atau kota  berdasarkan kenyataan sosial bahwa manusia adalah jenis makhluk yang saling memerlukan satu sama lainnya untuk mencukupi segala kebutuhannya. Keinginan mencukupi kebutuhan agar bertahan hidup, dan untuk memperolehnya diperlukan kerjasama, mendorong mereka berkumpul di suatu tempat, agar mereka dapat saling menolong dan memberi. Proses itulah yang menyebabkan terbentuknya kota-kota, dan akhirnya menjadi negara.
                Senada dengan pandangan Ibn Abu Rabi’, konsep Mawardi tentang negara dimulai dengan penjelasannya mengenai hakikat manusia sebagai makhluk sosial. Manusia menurut Mawardi adalah makhluk lemah dan paling banyak kebutuhannya. Untuk itu, manusia memerlukan kerjasama.  Allah menciptakan manusia dengan keadaan lemah dan paling banyak kebutuhan, menurut Mawardi, bertujuan membuat mereka sadar bahwa Dia adalah pencipta dan pemberi rezeki. Dan yang terpenting dari semua itu adalah agar manusia tidak sombong dan takabur.


2. Teori Asal Mula dan Berakhirnya Negara
                Untuk menjawab asal mula dan berakhirnya negara maka ada dua mainstream pendekatan penjelasan. Pertama, pendekatan faktual. Pendekatan ini didasarkan pada kenyataan yang benar-benar terjadi, yang dapat ditelusuri dari pengalaman dan sejarah. Kedua, pendekatan teoritis. Pendekatan ini didasarkan pada penggunaan metode falsafah, yaitu membuat dugaan-dugaan berdasarkan kerangka pemikiran yang logis.
a. Pendekatan Faktual
                Bahwa kenyataan sejarah menunjukkan bahwa suatu negara dapat dibentuk antara lain disebabkan antara lain oleh:
(1) Suatu wilayah atau daerah belum ada yang menguasai, kemudian diduduki oleh suatu bangsa, maka daerah itu berubah menjadi suatu negara. Misalnya, Wilayah Liberia yang diduduki oleh budak-budak Negro yang dimerdekakan pada tahun 1847.
(2) Suatu wilayah atau daerah yang semula termasuk wilayah negara tertentu, kemudian melepaskan diri dari negara itu dan menyatakan kemerdekaannya. Misalnya Timor Timur pada tahun 1999 melepaskan diri dari Indonesia melalui referendum dan kini menjadi negara berdaulat; Singapura pada tahun 1963 melakukan pemisahan dari Federasi Malaya, Belgia pada tahun 1839 melepaskan diri dari Belanda dan menjadi negara. Pendekatan ini tampaknya lebih menyerupai teori pengalihan hak atau teori daluarsa, prescriptive theory atau prescriptive possession theory, yakni hak yang diperoleh setelah pihak lain melepas hak atau berlakunya hak itu. Teori ini dipopulerkan oleh Sir Robert Filmer dan Loyseau.
(3) Beberapa negara mengadakan peleburan (fusi) dan menjadi suatu negara baru. Misalnya, pembentukan Kerajaan Jerman tahun 1871.
 (4) Suatu negara pecah dan lenyap, kemudian di atas bekas wilayah negara itu timbul negara-negara baru. Misalnya, tahun 1832 negara Colombia pecah menjadi negara-negara baru, yaitu Venezuela dan Colombia Baru; 15 negara pecahan Uni Soviet 1992; Yugoslavia pecah menjadi negara-negara baru, yaitu Bosnia, Serbia, dan Kroasia.
b. Pendekatan Teoritis
                Termasuk dalam pendekatan ini adalah teori Ketuhanan, teori hukum alam, teori kekuasaan, teori perjanjian masyarakat, teori organis, dan teori garis kekeluargaan.
(1)  Teori Ketuhanan
Teori ini didasarkan pada kepercayaan bahwa segala kejadian di jagat raya ini terjadi karena kehendak Tuhan.
(2)  Teori Hukum Alam
Teori ini berpangkal pada pandangan bahwa hukum alam bukan merupakan hukum buatan negara, melainkan hukum yang berlaku menurut keadaan alam. Hukum yang demikian ini berlaku abadi atau universal, yaitu tidak berubah, berlaku dalam setiap waktu dan tempat.
(3) Teori Kekuasaan
“Raja yang pertama adalah prajurit yang berhasil”, begitu kalimat yang dibuat oleh Voltaire untuk menggambarkan bahwa negara itu terbentuk tidak lain karena kekuatan atau kekuasaan. Teori ini berpandangan bahwa negara terbentuk berdasarkan atas kekuasaan. Dari sini bisa diketahui bahwa orang kuatlah yang pertama-tama mendirikan negara, karena dengan kekuatannya itu, ia mampu untuk memaksakan kehendaknya kepada orang lain.
(4) Teori Perjanjian Masyarakat
Teori ini bertitik tolak pada anggapan bahwa sebelum adanya negara, manusia hidup secara sendiri-sendiri, dan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Saat itu, belum ada masyarakat dan belum ada peraturan, sehingga kehidupan masyarakat sangat kacau. Dengan kata lain, adanya negara adalah hasil kesepakatan dari masyarakat yang melahirkan sejumlah hak dan kewajiban antara individu atau kelompok individu (masyarakat) dengan negara di satu sisi, dan antara individu dengan individu atau kelompok individu di sisi lain.
(5)  Teori Organis
Teori ini menyatakan bahwa negara adalah suatu organisme. Adanya negara bermula dari pola kerjasama antarorganisasi sederhana, kemudian meningkat secara bertahap ke dalam bentuk yang lengkap dan jelas.
(6)  Teori Garis Kekeluargaan (Patriarkhal, Matriarkhal)
Teori ini menerangkan bahwa negara dapat terbentuk dari perkembangan suatu keluarga yang menjadi besar, kemudian bersatu membentuk negara. Orang-orang yang mempunyai hubungan darah (kekeluargaan) berkembang menjadi suatu suku (tribe), lalu berkembang lagi sehingga membentuk suatu negara.
3. Tipe-tipe Negara Menurut Sejarah
                Tipe-tipe negara menurut sejarah, de historische hoofd typen van de staats, meninjau penggolongan negara berdasarkan sejarah pertumbuhannya.
a. Tipe Negara Timur Purba, mempunyai tipe tirani dan raja-raja berkuasa mutlak dengan  ciri-ciri bersifat teokratis dan pemerintahan bersifat absolut.
b. Tipe Negara Yunani kuno, mempunyai tipe sebagai negara kota atau Polis (city state). Besarnya negara kota hanyalah satu kota saja yang dilingkari benteng pertahanan, penduduknya sedikit dan pemerintahan demokrasi langsung. Pemerintahan berjalan dengan mengumpulkan rakyat di satu tempat yang disebut acclesia. Dalam rapat dikemukakan kebijaksanaan pemerintah untuk dipecahkan bersama, rakyat ikut serta memecahkan masalah. Pemerintahan selalu dipegang oleh ahli-ahli filsafat.
c.  Tipe Negara Romawi
Tipe negaranya adalah imperium. Pemerintahannya dipegang oleh Caesar yang menerima seluruh kekuasaan dari rakyat atau apa yang dinamakan Caesarismus. Pemerintahan Caesar adalah secara mutlak.
d. Tipe Negara Abad Pertengahan
Ciri khas tipe negara Abad Pertengahan adalah adanya  dualisme (pertentangan):
(1) Dualisme antara penguasa dengan rakyat;
(2) Dualisme antara pemilik dan penyewa tanah sehingga munculnya feodalisme;
(3) Dualisme antara Negarawan dengan Gerejawan (sekularisme).
Akibat adanya dualisme ini timbul keinginan rakyat untuk saling membatasi hak dan kewajiban antara raja dan rakyat. Ini dikemukakan oleh aliran monarchomachen (golongan anti raja yang mutlak)
e. Tipe Negara Modern
Pada negara-negara modern tipenya adalah:
(1) Berlaku asas demokrasi;
(2) Dianutnya faham negara hukum;
(3) Susunan negaranya Kesatuan. Didalam negara hanya ada satu pemerintahan, yaitu Pemerintahah Pusat yang mempunyai wewenang tertinggi.
4. Unsur-unsur Negara
                Yang dimaksud dengan unsur-unsur negara adalah hal-hal yang menjadikan negara itu ada, atau hal-hal yang diperlukan untuk terbentuknya negara. Unsur-unsur pembentuk tersebut ada yang bersifat mutlak atau konstitutif dan bersifat tambahan atau deklaratif. Unsur pertama  merupakan syarat mutlak, sehingga apabila unsur satu saja tidak ada, negara pun tidak ada. Adapun unsur-unsur negara yang termasuk kategori ini adalah rumusan Konvensi Montevidio 1933, terdiri atas tiga unsur penting, yakni:  rakyat, wilayah, dan pemerintah yang berdaulat. Sementara unsur tambahan atau deklaratif adalah “pengakuan negara-negara lain/dunia internasional”. Berikut akan diuraikan mengenai unsur-unsur pembentuk negara tersebut.
a. Rakyat
                Secara khusus rakyat diartikan “semua orang yang berdiam didalam suatu negara atau menjadi penghuni negara”. Rakyat merupakan unsur terpenting dalam suatu negara, karena manusialah yang pertama-tama berkepentingan agar organisasi negara dapat berjalan dengan baik. Dalam praktik kenegaraan, biasanya rakyat dibedakan antara, pertama, penduduk dan bukan penduduk; kedua, warga negara dan bukan warga negara.
                Penduduk adalah mereka yang bertempat tinggal  atau berdomisili didalam wilayah negara. Adapun bukan penduduk adalah mereka yang berada di dalam wilayah negara, tetapi tidak bermaksud bertempat tinggal di negara itu. Perbedaan antara penduduk dengan bukan penduduk menimbulkan konsekuensi berupa perbedaan hak dan kewajiban tertentu.
                Warga negara adalah mereka yang berdasarkan hukum merupakan anggota dari suatu negara. Mereka yang tidak termasuk warga negara adalah orang asing (bukan warga negara). Sebagian besar warga negara merupakan penduduk negara itu, dan ada sebagian kecil yang tidak menjadi penduduk karena bertempat tinggal di luar negeri.
                Ada tiga unsur dasar atau asas yang menentukan warga negara atau kewarganegaraan seseorang:
(1) Asas ius sanguinis, adalah berdasarkan pertalian darah atau keturunan. Asas ini menentukan bahwa kewarganegaraan seseorang didasarkan atas kewarganegaraan orang tuanya, sekalipun anak itu sendiri dilahirkan di luar negaranya. Negara yang menganut asas ini adalah Cina dan Indonesia.
(2) Asas ius soli, adalah berdasarkan kedaerahan atau territorial. Asas ini menentukan kewarganeraaan seseorang didasarkan pada tempat ia dilahirkan, meskipun orang tuanya berasal dari negara lain. Negara yang menganut asas ini adalah Amerika Serikat.
(3)  Asas naturalisasi atau pewarganegaraan. Asas  yang penentuannya dapat dilakukan manakala seseorang yang berkewarganegaraan asing mengajukan permohonan untuk menjadi warga negara dari suatu negara tertentu.
                        Kedua asas yang disebutkan pertama, pada praktiknya cenderung memungkinkan seseorang memiliki kewarganeraan rangkap (bipatride) atau sebaliknya, tidak memiliki kewarganegaraan (apatride). Kewarganegaraan rangkap ini disebabkan dianutnya asas yang berbeda diantara dua negara dalam menentukan kewarganegaraannya. Negara yang satu menggunakan asas ius sanguinis dan yang lain menggunkan ius soli. Misalnya, seorang warga Cina melahirkan anaknya di Amerika Serikat. Anak yang baru lahir tersebut kemungkinan akan menjadi bipatride, karena Cina menggunakan asas ius sanguinis dan Amerika Serikat menganut asas ius soli, sehingga akan sama-sama mengakui anak tersebut sebagai warga negaranya.
                        Dalam perkembangan selanjutnya, sebutan penghuni negara selain digunakan istilah rakyat, juga digunakan istilah “bangsa”. Untuk membedakan kedua istilah itu, para sarjana menyatakan bahwa rakyat adalah suatu pengertian sosiologis, sedangkan bangsa adalah suatu pengertian yang lebih bersifat politis. Dalam konteks pembedaan itu, rakyat diartikan sebagai sekelompok manusia yang memiliki suatu kebudayaan adat istiadat, sedangkan bangsa diartikan sebagai sekelompok manusia yang dipersatukan oleh persamaan sejarah dan cita-cita.
b. Wilayah
                        Oppenheim dalam buku International Law, seperti dikutip Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, menerangkan bahwa tanpa adanya wilayah dengan batas-batas tertentu, suatu negara tidak akan dianggap segala kedaulatannya dan eksistensinya. Pengertian negara di sini tidak dapat dipisahkan dari konsep dasar negara sebagai suatu kesatuan geografis disertai dengan kedaulatan dan yurisdiksinya masing-masing. Karena itu, wilayah bagi suatu negara merupakan unsur yang mendasar. Peranan penting wilayah bagi negara adalah: pertama, sebagai tempat menetap rakyat dan tempat pemerintah menyelenggarakan pemerintahannya. Kedua, sebagai simbol kedaulatan dan integritas kewilayahan (territorial integrity).                Wilayah negara meliputi: daratan, lautan, udara, dan daerah ekstrateritorial.
                        Berkaitan dengan batas wilayah ini ditentukan sebagai berikut: pertama, batas wilayah daratan biasanya ditentukan dalam perjanjian dengan negara-negara tetangga. Kedua, lautan adalah seluruh wilayah lautan di suatu negara dengan batas-batas tertentu dan disebut laut territorial. Laut di luar itu disebut laut terbuka. Perkembangan selanjutnya, khususnya setelah lahirnya Konvensi Laut 1982 melalui traktat multilateral di Montego Bay (Jamaica) pada tanggal 10 Desember 1982, wilayah lautan dibagi menjadi beberapa kategori, yakni:
1. Laut teritorial. Setiap negara mempunyai kedaulatan atas lautan terotorial yang jaraknya sampai 12 mil laut, diukur dari garis lurus yang ditarik dari pantai;
2. Wilayah laut zona bersebelahan, yaitu lautan di luar batas laut territorial 12 mil laut atau 24 mil laut dari pantai;
3. Wilayah laut Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE), adalah wilayah laut dari suatu negara pantai yang batasnya 200 mil laut diukur dari pantai. Dalam wilayah laut ini, negara pantai yang bersangkutan berhak menggali kekayaan alam lautan serta melakukan kegiatan ekonomi tertentu. Negara lain berhak berlayar atau terbang di atas wilayah itu serta bebas pula memasang kabel dan pipa di bawah lautan itu. Negara pantai yang bersangkutan berhak menangkap nelayan asing yang kedapatan menangkap ikan dalam ZEE-na.
4. Wilayah laut batas landas benua, adalah wilayah lautan suatu negara yang batasnya lebih dari 200 mil laut. Dalam wilayah ini, negara pantai boleh melakukan eksplorasi dan eksploitasi, dengan kewajiban harus membagi keuntungan dengan masyarakat internasional.
                        Ketiga, wilayah udara suatu negara berada di atas wilayah daratan dan lautan negara itu. Kekuasaan atas wilayah udara suatu negara diatur dalam perjanjian Paris tahun 1919. Keempat, daerah ekstrateritorial ini berdasarkan hukum internasional, misalnya mencakup kapal-kapal laut yang berlayar di laut terbuka di bawah bendera suatu negara tertentu, seperti kantor keduataan besar. Daerah ekstrateritorial artinya, walaupun tempat itu terletak di wilayah negara lain, dianggap menjadi wilayah negara yang diwakili. Misalnya, kantor perwakilan negara Amerika Serikat di Jakarta, tempat kedudukan kantor perwakilan itu menjadi ekstrateritorial negara Amerika Serikat.
                        Dalam Hukum internasional, setiap negara memiliki kemungkinan untuk menambah atau mempertahankan wilayahnya. Apabila dilihat dari pengalaman dan sejarah praktik negara, terdapat beberapa cara bagi suatu negara untuk memperluas wilayahnya, diantaranya: pertama, akresi. Cara ini adalah penambahan wilayah yang disebabkan oleh proses alamiah. Misalnya, terbentuknya pulau yang disebabkan endapan lumpur di muara sungai, mengeringnya bagian sungai disebabkan terjadinya perubahan aliran sungai, dan letusan gunung api di laut yang membentuk daratan. Kedua, cessi, yakni cara meyerahkan wilayah secara damai yang biasanya dilakukan melalui suatu perjanjian perdamaian yang mengakhiri perang.
                        Ketiga, okupasi atau cara menunjukkan adanya penguasaan terhadap suatu wilayah yang tidak berada di bawah wilayah kedaulatan negara manapun, dapat berupa terra nullius yang baru ditemukan. Penguasaan tersebut harus secara efektif dan terbukti adanya kehendak untuk menjadikan wilayah tersebut sebagai bagian dari kedulatan suatu negara. Hal itu harus ditunjukkan, misalnya, dengan suatu tindakan simbolis yang menunjukkan adanya penguasaan terhadap wilayah tersebut, seperti pemancangan bendera atau melalui suatu proklamasi.
                        Keempat, preskripsi. Berbeda dengan okupasi, preskripsi, adalah pelaksana kedaulatan oleh suatu negara secara de facto dan damai dalam kurun waktu tertentu, bukan terhadap terra nullius, melainkan terhadap wilayah yang sebenarnya berada di wilayah kedaulatan negara lain. Kelima, aneksasi, yakni cara memperoleh tambahan wilayah secara paksa berdasarkan dua kondisi:
1. Wilayah yang dianeksasi telah dikuasai oleh negara yang menganeksasi.
2. Pada waktu suatu negara mengumumkan kehendaknya untuk menganeksasi suatu wilayah, wilayah tersebut telah benar-benar berada di bawah wilayah penguasaan negara tadi.
                Keenam, adalah perolehan wilayah oleh negara baru. Perolehan wilayah semacam ini bagi negara-negara yang baru merdeka merupakan suatu hal yang dianggap sebagai sui generis.
c. Pemerintah yang berdaulat
                Yang dimaksud pemerintah adalah seorang atau beberapa orang yang memerintah menurut hukum negaranya. Pemerintah sebagai unsur negara adalah pemerintah dalam arti luas, yaitu gabungan seluruh alat perlengkapan negara. Kedaulatan adalah kekuasaan yang tertinggi untuk membuat undang-undang dan melaksanakannya dengan semua cara (termasuk paksaan) yang tersedia. Dalam perkembangannya, terdapat bermacam-macam teori kedaulatan, antara lain:
                      1. Teori kedaulatan tuhan atau disebut juga teori teokrasi, adalah kekuasaan tertinggi dalam negara berasal dari Tuhan. Tuhan memberikan kekuasaan kepada penguasa karena ia dianggap sebagai keturunan dan wakil-Nya di bumi;
                      2. Teori kedaulatan negara, akni suatu faham yang bertitik tolak bahwa negaralah sumber kedaulatan dalam negara. Oleh karena itu, negara dianggap mempunyai hak yang tidak terbatas terhadap life, liberty, dan property dari warganya;
3. Teori kedaulatan hukum, ialah teori yang menyatakan bahwa hukum berada di atas segala-galanya, bukan hanya manusia, tetapi juga negara berada di bawah pemerintah hukum;
4. Teori kedaulatan rakyat. Teori ini menyatakan bahwa rakyatlah yang berdaulat dan mewakili kekuasaanya pada suatu badan, yaitu pemerintah. Jadi bilamana pemerintah ini melaksanakan tugasnya tidak sesuai dengan kehendak rakyat, maka rakyat akan bertindak mengganti pemerintah itu. Kedaulatan rakyat ini didasarkan pada kehendak umum yang disebut volonte generale.
d. Pengakuan dari Negara-Negara lain
                Pengakuan dari negara-negara lain bukan unsur mutlak, dalam arti bukan merupakan pembentuk negara, melainkan hanya bersifat menerangkan adanya suatu negara. Pengakuan dari negara lain terdiri atas dua macam, yaitu pengakuan de facto dan pengakuan de jure. Pengakuan de facto adalah pengakuan berdasarkan kenyataan (fakta) bahwa di suatu wilayah itu diakui telah berdiri suatu negara. Sementara pengakuan de jure adalah pengakuan berdasarkan hukum.
                Di kalangan para sarjana hukum internasional, terdapat dua golongan besar yang saling bertentangan mengenai unsur tambahan ini. Golongan pertama berpendapat bahwa apabila semua unsur negara telah dimiliki oleh suatu masyarakat politik, dengan sendirinya ia merupakan sebuah negara da harus diperlakukan secara semestinya oleh negara-negara lainnya. Dengan kata lain, Hukum Internasionalk secara ipso facto harus menganggap masyarakat politik yang bersangkutan sebagai suatu negara lengkap dengan hak dan kewajiban-kewajiban yang dengan sendirinya melekat padanya. Pengakuan hanya bersifat “pencatatan” pada pihak negara lain, bahwa negara baru itu telah mengambil tempat di samping negara-negara lain yang telah ada.
                Sementara itu, golongan kedua berpendapat bahwa walupun unsur-unsur kenegaraan telah dimiliki oleh suatu masyarakat politik, tidaklah secara otomatis dapat diterima sebagai enagar di tengah-tengah masyarakat internasional, kecuali masyarakat politik tersebut benar-benar telah memenuhi semua syarat sebagai negara, termasuk syarat pengakuan dari negara-negara lain. Golongan ini dapat dikatakan sebagai penganut constitutive theory (teori konstitutif).
                Pokok pangkal pertentangan ini dikarenakan sistem hukum internasional yang todak mengenal central authority (kekuasaan pusat) yang menentukan secara normatif, ukuran-ukuran yang dijadikan patokan dalam menerapkan lembaga pengakuan ini.
5. Bahan Pengayaan
a. Azhary, Muhammad Tahir, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Prenada Media, Jakarta, 2004
b. Basah, Sjahran, Ilmu Negara.
c.  Boediharjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik.
d. Fadjar, A. Moekthie, Negara Hukum.
e. Ismatullah, Deddy & Asep A. Sahid Gatara, Ilmu Negara dalam Multi Perspektif: Kekuasaan, Masyarakat, Hukum dan Agama, Pustaka Setia, Bandung, 2007.
f. Soehino, Ilmu Negara.
g. Wahjono, P., Ilmu Negara.




0 komentar:

Posting Komentar