Hand Out
HUKUM TATA NEGARA (HTN)
Jundiani
|
Materi 4
FUNGSI
DAN TUJUAN NEGARA
1. Fungsi dan Tujuan Negara
Sebagaimana
diketahui bahwa setiap negara mempunyai tujuan-tujuan tertentu. Apa yang
menjadi tujuan bagi suatu negara, ke arah mana suatu organisasi negara
ditujukan merupakan masalah penting. Tujuan negara inilah yang akan menjadi
pedoman bagaimana negara disusun dan
dikendalikan, serta bagaimana kehidupan rakyatnya diatur sedsuai dengan tujuan
itu. Tujuan negara di sini dapat diartikan juga sebagai visi negara. Secara
umum, tujuan terakhir setiap negara adalah menciptakan kebahagiaan bagi
rakyatnya (bonum publicum, common good, common wealth). Tujuan
kebahagiaan tersebut pada garis besarnya dapat disederhanakan dalam dua hal
pokok, yakni: a) keamanan dan keselamatan (security and safety); dan b)
kesejahteraan dan kemakmuran (welfare and prosperity).
Sementara
itu, untuk apa organisasi negara dibentuk atau dengan kata lain apa yang
menjadi tugas daripada negara merupakan bagian dari teori fungsi negara. Dalam
teori fungsi negara ada lima faham, yakni:
a. Fungsi Negara
pada abad ke-XVI di Perancis, yakni: diplomacie (penghubung
antarnegara), difencie (keamanan dan pertahanan negara), financie
(menyediakan keuangan negara), justicie (menjaga ketertiban perselisihan
antar warganegara dan urusan dalam negara, policie (mengurus kepentingan
negara yang belum menjadi wewenang dari Departemen lainnya.
b. Fungsi Negara Menurut John
Locke
- Fungsi Legislatif, untuk
membuat peraturan;
- Fungsi Eksekutif, untuk
melaksanakan peraturan;
- Fungsi Federatif, untuk
mengurusi urusan luar negeri dan urusan perang dan damai.
Menurut John Locke, fungsi mengadili adalah termasuk
tugas dari eksekutif. Teori John Locke tersebut kemudian disempurnakan oleh
Montesquieu. Dia membagi negara menjadi tiga fungsi, tetapi masing-masing
fungsi itu terpisah dan dilaksanakan oleh lembaga yang terpisah pula.
c. Fungsi Negara Menurut
Montesqueui
Ada tiga fungsi
negara menurut Montesqueui yang popular dengan nama Trias Politica,
ialah:
-
Fungsi
Legislatif, membuat undang-undang;
-
Fungsi
Eksekutif, melaksanakan undang-undang; dan
-
Fungsi
Yudisial, mengawasi agar semua peraturan ditaati (fungsi mengadili).
Montesqueui
menyatukan fungsi federatif dengan fungsi eksekutif, dan fungsi mengadili
dijadikan fungsi yang berdiri sendiri. Tujuan Montesqueui memperkenalkan trias
politicanya adalah untuk kebebasan berpolitik (melindungi hak-hak asasi
manusia) yang hanya dapat dicapai dengan kekuasaan mengadili (lembaga yudisial)
yang berdiri sendiri.
d. Fungsi Negara Menurut van
Vollenhoven
van Vollenhoven
membagi fungsi negara menjadi empat, yaitu:
-
Regeling, membuat peraturan;
- Bestuur, menyelenggarakan
pemerintahan;
-
Rechtspraak, mempunyai fungsi mengadili; dan
-
Politie, mempunyai fungsi ketertiban dan keamanan.
Ajaran
van Vollenhoven ini terkenal sebagai Catur Praja. Sejarah terus berkembang dan
fungsi negara juga mengalami perubahan, khususnya penambahan tugas untuk
lembaga eksekutif, terutama pada negara-negara yang sedang berkembang.
e. Fungsi Negara Menurut Goodnow
Goodnow melihat fungsi negara secara
prinsipil, sehingga ia mengutarakan 2 fungsi negara. Terhadap policy makers,
boleh dilaksanakan sistem Andrew Jackson, sedangkan untuk policy executors
tidak perlu dipakai, tapi yang dijalankan adalah berdasarkan keahlian. Ajaran
Goodnow ini disebut juga merit system, karena menggunakan kegunaannya.
Policy making adalah kebijaksanaan negara
untuk waktu tertentu, untuk seluruh masyarakat. Policy executing, adalah
kebijaksanaan yang harus dilaksanakan untuk tercapainya policy making.
Orang yang menetapkan policy making adalah policy maker dan orang
yang menetapkan policy executing adalah eksekutor Karena
mengemukakan fungsi negara atas dua bagian saja, ajarannya dikenal sebagai Dwipraja
(dichotomy). Dengan demikian policy maker adalah orang yang
menentukan kebijaksanaan negara, tujuan-tujuan kenegaraan pada waktu tertentu
untuk masyarakat seluruhnya. Sedangkan policy executor adalah
orang-orang yang berusaha mencapai apa-apa yang telah diputuskan oleh policy
maker, atau menentukan daya upaya, alat-alat apa dan sebagainya untuk
mencapai tujuan tadi.
f. Fungsi Negara Menurut Miriam Budiarjo
Ia mengemukakan ada empat
fungsi negara, yakni: (1) Melaksanakan penertiban
(law and order). Untuk mencapai tujuan bersama dan mencegah bentrok-bentrokan
dalam masyarakat, negara harus melaksanakan penertiban. Dapat dikatakan bahwa
negara adalah berfungsi sebagai stabilitator; (2) Mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran
rakyatnya. Dewasa ini fungsi ini dianggap sangat penting, terutama bagi
negara-negara baru; (3)
Pertahanan. Hal ini dibutuhkan untuk menjaga kemungkinan serangan dari luar.
Untuk ini, negara dilengkapi dengan alat pertahanan; (4) Menegakkan keadilan, hal
ini dilaksanakan melalui badan-badan peradilan.
Sementara itu, sarjana
lain, seperti Charles E. Merriam mengungkapkan lima fungsi negara, yaitu: (1)
keamanan ekstern, (2) ketertiban intern, (3) keadilan, (4) kesejahteraan umum,
dan (5) kebebasan.
2. Fungsi Negara Menurut Trias Politica
Trias
Politica adalah anggapan bahwa kekuasaan negara terdiri dari tiga macam
kekuasaan, yaitu: legislatif atau kekuasaan membuat undang-undang (dalam
peristilahan baru sering disebut rule making function), kekuasaan
eksekutif atau kekuasaan melaksanakan undang-undang (dalam peristilahan baru
sering disebut rule application function), kekuasaan yudisial atau
kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang (dalam peristilahan baru
sering disebut rule adjudication function). Trias Politica adalah
prinsip normative bahwa kekuasaan-kekuasaan ini sebaiknya tidak diserahkan
kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang
tidak berkuasa.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa dengan dipisahkannya kekuasaan
negara menjadi tiga bagian yaitu untuk menghindari menumpuknya kekuasaan pada
satu tangan, sehingga akan mengakibatkan tidak terjaminnya hak-hak asasi
manusia, karena akan dipimpin oleh sebuah kekuasaan yang absolut.
3. Macam-macam teori tujuan negara
a. Teori Kekuasaan Negara (Lord
Shang)
Salah satu tokoh yang meletakkan dasar pemikiran bagi
teori kekuasaan negara adalah Shang
Yang. Ia hidup pada abad ke-5 atau abad ke-4 sebelum Masehi. Ia merupakan Tuan
Tanah di daerah Shang. Itulah sebabnya ia dikenal dengan sebutan Lord Shang.
Semasa Lord Shang masih hidup, pemerintahan Cina (Tiongkok) saat itu sedang
dilanda kekacauan besar, penuh kerusuhan, kekuasaan pemerintah makin melemah
dan daerah diperintah oleh para gubernur yang tidak mau tunduk kepada
pemerintah pusat. Kaum bangsawan menjadi merdeka dan bertindak selaku raja
kecil yang berdaulat.
Bertitik tolak dari kenyataan itu, Shang yang
mendambakan suatu pemerintahah pusat yang kuat. Kehendak itulah yang melahirkan
sebuah teori tentang tujuan negara. Lord Shang mengemukakan bahwa dalam setiap
negara terdapat subyek yang selalu berhadapan dan bertentangan, yaitu
pemerintah dan rakyat. Apabila yang satunya kuat, yang lainnya akan lemah. Lord
Shang lebih memilih pihak pemerintah yang harus lebih kuat, supaya tidak
terjadi kekacauan dan anarkis.
b. Teori Pemeliharaan Agama dan
Kesejahteraan Rakyat (Juris Sunni)
Teori
ini dianut dan dijalankan oleh para juris Sunni dalam doktrin Islam Instrumen
utama dalam melihat dan menerangkan tujuan negara adalah pemerintahan yang
mengelola negara. Dalam kerangka pemikiran ini, diketahui bahwa pembentukan
khalifah atau pemerintahan dalam suatu negara bertujuan sebagai pengganti tugas
kenabian yang mengatur kehidupan dan urusan umat atau rakyat, baik keduniaan
maupun keagamaan. Bertolak dari kerangka demikian, para juris Sunni lebih
melihat bahwa tujuan negara adalah
memelihara agama dan umat atau rakyat.
Salah
satu tokoh yang mengembangkan teori ini adalah Al-Mawardi. Ia menyatakan bahwa
negara melalui lembaga imamah-nya mempunyai tujuan umum: pertama,
mempertahankan dan memelihara agama menurut prinsip-prinsipnya yang ditetapkan
dan apa yang menjadi ijma oleh kaum salaf (generasi pertama umat
manusia); kedua, memelihara
hak-hak rakyat dan hukum-hukum Tuhan; ketiga, melaksanakan kepastian
hukum diantara para pihak yang bersengketa atau berperkara dan berlakunya
keadilan yang universal antara penganiaya dan yang dianiaya; keempat, melindungi wilayah Islam dan memelihara
kehormatan rakyat agar mereka bebas dan aman, baik jiwa maupun harta; kelima,
jihad terhadap orang-orang yang menentang Islam setelah adanya dakwah agar
mereka mengakui eksistensi Islam; keenam, membentuk kekuatan untuk
memghadapi musuh; ketujuh, memungut pajak dan sedekah menurut ketentuan syara’,
nash dan ijtihad; kedelapan, mengatur penggunaan harta baitul maal
secara efektif; kesembilan, meminta nasihat dan pandangan dari
orang-orang terpercaya; kesepuluh, dalam memelihara agama dan rakyat,
pemerintah dan kepala negara harus langsung menanganinya dan meneliti keadaan
yang sebenarnya.
c. Teori Kebesaran dan Kehormatan
Negara (Niccolo Machiavelli)
Dalam
batas-batas tertentu teori ini sangat mirip dengan teori kekuasaan negara Lord
Shang. Niccolo Machiavelli adalah salah satu tokoh sandaran dari teori ini.
Kemiripan ini difasilitasi, salah satunya, karena adanya kesamaan konteks
keadaan negara Italia pada zaman Machiavelli dengan Cina pada masa hidup Shang
Yang. Saran Machiavelli, seorang raja dalam menjalankan pemerintahannya, untuk
mengabaikan kesusilaan dan agama. Bila perlu, raja hars licik dan tida perlu
menepati janji. Untuk sebuh tujuan negara, raja dapat menghalalkan segala cara.
Dan sebaliknya, raja harus ditakuiti oleh rakyatnya.
Di
samping kemiripan, kedua teori tujuan negara tersebut juga memiliki perbedaan
yang cukup signifikan. Jika teori Shang Yang hanya sampai pada tujuan
memperbesar dan menggunakan kekuasaan, Machiavelli lebih dari itu, yakni
kekuasaan negara hanyalah sebagai perantara saja, sementara tujuan akhir dan
tertinggi dari negara adalah terciptanya kebesaran dan kehormatan.
Sebagian
besar ahli sejarah berpendapat bahwa pikiran Machiavelli ini telah menjadi sumber ilham bagi para
dictator, seperti Fredrik Yang Agung dan Adolf Hitler di Jerman; Louis XIV dan
Napoleon Bonaparte di Perancis; Oliver Cromwell di Inggris; dan Benito
Mussolini di Italia.
d. Teori Perdamaian Dunia (Teori
Dante alleghiere)
Teori ini menyatakan bahwa tujuan negara dalah mewujudkan perdamaian
dunia. Pada tahun 1313, Dante menyusun sebuh buku yang berjudul Die Monarchia.
Buku ini disusun pada saat pemerintahan di Italia dalam suasana sangat kacau.
Di satu sisi, pada saat itu sedang terjadi perebutan pengaruh da kekuasaan
antara raja dengan partai politik, golongan dan kota-kota kecil. Sedangkan di
bagian lain terjadi pertentangan tajam antara raja dengan kepausan. Pada
konteks ini, Dante cenderung lebih memihak kepada raja, sehingga teorinya
bersifat anti-Paus, dan berpendirian bahwa Paus hanya berdaulta dalam
kerohanian saja, sekalipun diakui bahwa negara juga bertugas menganjurkan
keagamaan. Dante juga menyarankan agar Paus dan raja, dengan kompetensinya
masing-masing, sebaiknya bekerja sama dalam menciptakan perdamaian dunia. Dalam
bukunya tersebut Dante menegaskan bahwa:
“Tujuan
negara sesungguhnya adalah menciptakan perdamaian dunia, dengan jalan
menciptakan undang-undang yang seragam bagi seluruh umat manusia. Kekuasaan
sebaiknya terpusat di tangan seorang Monarch, agar perdamaian dan keamanan
dapat terjamin. Perebutan kekuasaan dan pengaruh harus disapu bersih. Negara
harus bersifat progresif mengejar kemajuan bagi rakyat, bukan untuk kepentingan
perseorangan.”
Sistem
kenegaraan yang harus dijalankan oleh
seorang Monarch untuk menciptakan dan memelihara perdamain dunia adalah imperium
atau kerajaan dunia. Menurut Dante, pada penguasa imperiumlah akan diperoleh
keadilan. Berdasarkan anggapan tersebut, Dante menyampaikan bahwa, yan selayaknya
menjadi raja adalah Kaisar Jerman yang telah menggantikan Imperium Romanum.
e. Teori Penjaminan Hak dan Kebebasan
(Immanuel Kant)
Teori
Kant tentang tujuan negara didasarkan pada asumsinya bahwa semua orang adalah
merdeka dan sederajat sejak lahir. Dengan dasar anggapan itu, Kant mengajarkan
bahwa tujuan negara adalah mengegakkan hak-hak dan kebebasan-kebebasan
warganya. Rakyat tidak usah tunduk pada undang-undang yang belum mendapat
persetujuan dari rakyat. Rakyat dan pemerintah bersama-sama merupakan subyek
hukum. Kehidupan rakyat sebagai manusia dalam negara, bukan karena kemurahan
hati pemerintah, melainkan berdasarkan hak-hak kekuatan sendiri. Inilah menurut
Kant, sebagai bagian dari ajaran teori “negara hukum.”
Teori
negara hukum yang disampaikan K ant disebut sebagian sarjana, seperti Utrecht
dan Kranenburg, sebagai teori hukum murni atau negara hukum dalam arti sempit.
Hal ini dikarenakan negara diposisikan pasif dan peranan negara cenderung hanya
sebagai penjaga ketertiban hukum dan pelindung hak serta kebebasan warga negara
atau sebagai penjaga malam. Jadi, negara tidak turut campur tangan dalam upaya
mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Pada praktiknya, pandangan ini menjadi
dasar kenegaraan ekonomi liberal dengan semboyannya “persaingan bebas” atau
laissez faire, laissez aller, yang dijalankan dunia Barat dengan semua
konsekuensinya sampai pecahnya Perang Dunia I (1914-1918).
4. Fungsi dan tujuan negara RI
Mengacu pada pendapat J. Barent dalam bukunya Der Wetenschap der
Politiek, mengemukakan bahwa tujuan negara yang sebenarnya adalah
pemeliharaan, yaitu pemeliharaan ketertiban, keamanan, serta penyelenggaraan
kesejahteraan umum dalam arti seluas-luasnya.
Jacobsen dan Lipman menyebut tujuan yang demikian itu sebagai “tujuan
negara utama.”
Para
pendiri negara kita telah mengonsepsikan bahwa negara Republik Indonesia
merupakan negara yang berdasarkan hukum, negara yang demokratis (berkedaulatan
rakyat), berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dan berkeadilan sosial. Dengan
demikian dapat dikatakan merupakan theo-democratische-sozial-rechtstaat.
Perumusan
yang dipakai oleh pembentuk UUD 1945 yaitu “Indonesia adalah negara yang
berdasarkan atas hukum” dengan rumusan rechtstaat diantara dua tanda
kutip, menurut Padmo Wahjono, menunjukkan bahwa pola yang diambil tidak
menyimpang dari konsep-konsep negara hukum pada umumnya (genusbegrip),
namun disesuaikan dengan kondisi Indonesia atau digunakan dengan ukuran
pandangan hidup ataupun pandangan bernegara kita.
Dalam
simposium di Universitas Indonesia pada tahun 1966 tentang “Indonesia-Negara
Hukum” dalam simpulannya dikemukakan:
“Negara
Republik Indonesia adalah suatu negara hukum yang berdasarkan Pancasila.
Pancasila sebagai dasar negara yang mencerminkan jiwa bangsa Indonesia harus
menjiwai semua peraturan hukum dan pelaksanaannya. Dalam negara Indonesia, di
mana falsafah pancasila begitu meresap, hingga negara kita ini dapat dinamakan
Negara Pancasila, asas kekeluargaan merupakan titik tolak kehidupan
kemasyarakatan.”
Dengan
demikian dapat dikatakan, bahwa konsep negara hukum Indonesia menurut UUD 1945
ialah negara hukum Pancasila, yaitu konsep negara hukum di mana satu pihak
harus memenuhi kriteria dari konsep negara hukum pada umumnya (yaitu yang
ditopang oleh tiga pilar; pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia,
peradilan yang bebas dan tidak memihak, dan asas legalitas dalam arti formal
maupun material), dan di lain pihak, diwarnai oleh aspirasi-aspirasi
keindonesiaan, yaitu lima nilai fundamental dari Pancasila.
Konsep
negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dapat dirumuskan baik secara
material maupun yuridis formal. Rumusan secara material negara hukum Pancasila
didasarkan cara pandang (paradigma) bangsa Indonesia dalam bernegara yang
bersifat integralistik khas Indonesia, yaitu asas kekeluargaan yang maknanya
adalah bahwa yang diutamakan adalah rakyat banyak, namun harkat dan martabat
manusia tetap dihargai, serta paradigm kita tentang hukum yang berfungsi
pengayoman yaitu menegakkan demokrasi termasuk mendemokrasikan hukum, berkeadilan
sosial, dan berperikemanusiaan.
Atas
dasar paradigma bangsa Indonesia tentang negara dan hukum itu, rumusan secara
materiil negara hukum Pancasila menurut Padmo Wahjono adalah sebagai berikut:
suatu kehidupan berkelompok bangsa Indonesia, atas berkat rahmat Allah Yang
Mahakuasa dan didorong oleh keinginan yang luhur supaya berkehidupan kebangsaan
yang bebas dalam arti merdeka, berdaulat, bersatu, adil dan makmur, yang
didasarkan hukum baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis sebagai wahana
untuk ketertiban dan kesejahteraan dengan fungsi pengayoman dalam arti
menegakkan demokrasi, perikemanusiaan, dan keadilan sosial.
Sedangkan
secara yuridis formal dengan memperhatikan ketentuan dalam pasal-pasal UUD 1945
dan dengan membandingkannya dengan konsep negara hukum liberal (yang menurut
Frederich Julius Stahl) mengandung empat unsur yaitu; pengakuan dan
perlindungan HAM, pembagian kekuasaan negara, pemerintahan berdasarkan
undang-undang dan peradilan administrasi dan konsep rule of law (yang
menurut A.V. Dicey mengandung tiga unsur yaitu; supremation of law, equality
before the law, dan the constitution based on the individual rights),
negara hukum Pancasila mengandung lima unsur sebagai berikut:
a. Pancasila merupakan sumber dari
segala sumber hukum, yan berarti kita menghendaki satu sistem hukum nasional
yang dibangun atas dasar wawasan kebangsaan, wawasan nusantara, dan wawasan
bhineka tunggal ika.
b. Majelis
Permusyawaratan Rakyat adalah lembaga negara, yang berwenang mengubah dan
menetapkan undang-undang dasar yang melandasi segala peraturan
perundang-undangan lainnya, di mana undang-undang dibentuk oleh DPR
bersama-sama presiden. Hal ini menunjukkan prinsip legislatif yang khas
Indonesia, kekeluargaan, atau kebersamaan.
c. Pemerintahan
berdasarkan sistem konstitusi, yaitu suatu sistem yang tertentu, pasti dan
jelas, di mana hukum yang hendak ditegakkan oleh negara dan yang membatasi
kekuasaan penguasa/pemerintah agar pelaksanaannya teratur dan tidak simpang
siur harus merupakan satu tertib dan satu kesatuan tujuan. Konstitusi merupakan
suatu hukum dasar dalam bernegara di mana semua peraturan hukum (baik yang
tertulis maupun tidak tertulis) dapat dikembalikan. Rumusan itu berbeda dengan
rumusan rechtstaat atau rule of law yang lebih menekankan rumusan
negara berdasarkan undang-undang atau negara berdasarkan atas hukum atau negara
yang bermanfaat jadi lebih luas.
d. Segala warga
negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung
hukum dan pemerintahan itu dengan tiada kcualinya (Pasal 27 ayat 1 UUD 1945).
Prinsip ini lebih jelas dan lengkap daripada prinsip equality before the law
dalam konsep rule of law, karena selain menyangkut persamaan dalam
hak-hak politik, juga menekankan persamaan dalam kewajiban.
e. Kekuasaan kehakiman adalah
kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah.
Prinsip ini dimaksudkan terutama untuk menjamin adanya suatu peradilan yang
benar-benar adil dan tidak memihak (fair tribunal and independent yudiciary).
Prinsip ini juga merupakan salah satu prinsip negara hukum Indonesia seperti
yang disimpulkan dalam simposium negara hukum tahun 1966, juga menjadi prinsip rule
of law yang dikembangkan oleh International Commission of Jurist.
Operasionalisasi
konsep yuridis formal negara hukum Indonesia ini harus dimanifestasikan dalam
kegiatan pembentukan hukum, penerapan dan pelayanan hukum, penegakan hukum,
serta pengembangan hukum di Indonesia.
Dari
uraian di atas sehingga dapat disimpulkan bahwa fungsi dan tujuan negara
Indonesia dapat dilihat dalam Pembukaan UUD 1945 pada alinea keempat yang
berbunyi: “kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial . . .”
5. Bahan Pengayaan
a. Basah, Sjahran, Ilmu Negara.
b. Boedihardjo, Miriam, Dasar-dasar
ilmu Politik.
c. Fadjar, A. Moekthie, Negara
Hukum.
d. Isjwara, Pengantar Ilmu Politik.
e. Ismatullah,
Deddy & Asep A. Sahid Gatara, Ilmu Negara dalam Multi Perspektif:
Kekuasaan, Masyarakat, Hukum dan Agama, Pustaka Setia, Bandung, 2007.
f. Soehino, Ilmu Negara.
g. Wahjono, P., Ilmu Negara.
11 Maret 2012 pukul 05.07
Nice :) Bantu banget buat tugas.